Teori-Teori Motivasi
oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Motivasi
dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat
menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan
suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri
(motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki
individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang
ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam
kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki
daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti,
terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja
(prestasi) seseorang. Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin
Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat
dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2)
frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan,
keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5)
devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang
hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi
prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang
dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Untuk memahami tentang motivasi, kita
akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1)
teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori
Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori
Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan
tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan
dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
(disarikan dari berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P.
Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred
Luthan,140-167).
1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh
Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia
mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan
fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus,
istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam
arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan
intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan
akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam
berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self
actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk
mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah
menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama
(fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan
cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer,
sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan
sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu,
yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia
berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu
yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat
materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan
juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan
makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan
makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan
organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan
dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut
terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan
oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau
secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu
tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga
dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan
kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan
kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan
tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga
tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian
pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman
tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan
“koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang
diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai
kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan
kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati
rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai
rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu
ditekankan bahwa :
- Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
- Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
- Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori
kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan
fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang
berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori
kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang
menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan
seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi
merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“
Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai,
memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau
ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen
mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala,
mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri.
Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan
diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang
yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu :
(1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat
kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka
timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor
lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik
tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka
yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim
“ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama
dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R =
Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G =
Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami
akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat
persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan
Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki
pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan
hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth”
mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow.
Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia
itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer
disimak lebih lanjut akan tampak bahwa :
- Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
- Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
- Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada
sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari
keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif
yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada
hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah
memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori
yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi,
yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor
motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya
intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang
dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor
yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang
turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai
faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan
yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan
orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup
antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu
dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya,
teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan
organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan
sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik
5. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan
bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha
yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima.
Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang
diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
- Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
- Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :
- Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
- Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
- Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
- Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai
dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian
kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan
timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi
maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti
ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya
kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat
kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau
bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam
penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a)
tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya;
(c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan
menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut
ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan.
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang
berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang
disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi
merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan
perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil
yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan
sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang
bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat
sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan
sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang
bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang
diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang
diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi
manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik
tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian
membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta
menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya
itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa
para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang
diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang
telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi
karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang
yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun
ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional
disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh
berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya,
dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai
penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang
dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung
untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan
dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang
mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah
seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam
waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian
tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik
tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan
hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha
meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan
komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya
diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai
yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya,
mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan
kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku
pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang
tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak
ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha
mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti
menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model.
Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut
ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan
prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang
individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a)
persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan
pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi
kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi
motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan;
(b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat
bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang
berlaku dan cara penerapannya.
sumber :
0 komentar:
Posting Komentar