Blogger news

Pages

Senin, 06 Agustus 2012

Ketika Musim Tahun Ajaran Baru Tiba

 Euforia back to school biasanya selalu terlihat pada anak-anak di awal tahun ajaran baru. Seragam, kelas dan teman-teman baru. Tapi bagi sebagian besar siswa, tahun ajaran baru adalah momok. Sebab para siswa dihantui oleh pungutan sana-sini dan biaya ini-itu yang biasanya juga meramaikan tahun ajaran baru.
Fenomena yang semakin biasa terlihat menjelang tahun ajaran baru adalah ramainya lembaga Pegadaian. Pernyataan ini diamini oleh Kepala Humas PT Pegadaian (Persero) Kanwil Medan - Lintong Parulian Panjaitan. Jelang tahun ajaran baru banyak orang tua di Medan menggadaikan barang berharga untuk biaya sekolah putra-putri mereka. Hal ini terlihat hampir di seluruh kantor Pegadaian di Kota Medan. 

"Sebagai upaya agar masyarakat bisa memenuhi kebutuhan biaya pendidikan, PT Pegadaian Kanwil Medan telah menyiapkan dana sebesar Rp700 miliar untuk wilayah Sumut dan Aceh. Dana sebesar itu kita persiapkan untuk menyahuti permintaan uang pinjaman sistem gadai menjelang tahun ajaran baru," katanya (29/5). Menurutnya, peningkatan jumlah nasabah telah terasa sejak awal Mei dengan peningkatan pengajuan pinjaman yang mencapai 300 transaksi per hari atau meningkat sebesar 50 persen dibandingkan hari biasa. Dari sekian banyak transaksi, 90 persen menggadaikan emas sebagai jaminan, sisanya berupa barang elektronik dan kendaraan bermotor. Dia memperkirakan peningkatan itu akan terus terjadi hingga akhir Juni nanti.

Dari SD hingga PT

Pemerintah mengklaim telah membuat sekolah gratis. Nyatanya, program itu tidak didukung anggaran yang memadai. Selama ini, pemerintah mengandalkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) padahal dana tersebut hanya mampu menutupi 30 persen biaya pendidikan. Tak heran jika pihak sekolah pontang-panting mencari akal untuk menutupi kekurangan biaya. Banyak kepala sekolah yang mengeluh karena dana BOS tak mencukupi. 

Koordinator Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menjelaskan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Balitbang Depdiknas, untuk menuju sekolah gratis dibutuhkan dana sebesar Rp 1,8 juta per siswa SD per tahun dan Rp 2,7 juta per siswa SMP per tahun. Sementara dana BOS yang disediakan pemerintah di kota masih berkisar Rp 400.000 per siswa SD per tahun dan Rp 397.000 per siswa SD di kabupaten. Untuk siswa SMP di kota diberikan dana Rp 575.000 per tahun dan Rp 570.000 per siswa SMP per tahun di kabupaten. Dengan demikian orang tua murid SD masih harus menanggung biaya sebesar Rp 1,4 juta dan Rp 2 juta untuk orang tua murid SMP. 

Di beberapa daerah telah menjadi wacana sekolah akan memfasilitasi para orang tua murid yang ingin berpartisipasi dalam menutupi defisit biaya operasional ini. Para orang tua diberikan kesempatan menyumbang sejumlah dana kepada pihak sekolah dengan nominal yang tidak terbatas. Rencana ini terlihat solutif, tapi dapat memunculkan kohesi internal. Murid yang orangtuanya menyumbangkan dana besar, tentu mendapat perhatian istimewa dari pihak sekolah. Hal ini akan membuat timpang suasana belajar-mengajar. 

Belum ditambah dengan tersendat-sendatnya pencairan dana BOS yang membuat pihak sekolah menjadi serba salah untuk menangani operasionalnya. Meminta pungutan dari orang tua murid khawatir dituding melanggar brand gratis seperti yang digembor-gemborkan pemerintah. Namun bila tidak begitu, fasilitas pelayanan anak didik menjadi terabaikan. Oleh karena itu, Komite Sekolah biasanya dijadikan bemper untuk menyelesaikan masalah sensitif ini. Pungutan seperti seragam, buku, alat sekolah, biaya praktikum, LKS, uang komputer, bayar ulangan, biaya les tambahan, dan sebagainya tetap terjadi meksipun siswa dibebaskan SPP.

Sementara itu, anggaran pelaksanaan wajib belajar sebesar Rp 31 triliyun justru merambat ke hampir seluruh direktorat pendidikan seperti Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan (PMPTK) dan Sekretariat Jenderal. Berdasarkan data yang dihimpun ICW sepanjang tahun 2008 terdapat 36 kasus korupsi di tubuh Depdiknas. Alhasil, negara rugi 134,2 milyar. Pelaku korupsi didominasi oleh dinas pendidikan dengan modus mark up dan penyalahgunaan keuangan. Kondisi ini sangat memilukan mengingat dana yang minim masih harus disunat disana-sini.

Maka program sekolah gratis itu tidak efektif mengentaskan anak-anak dari jalanan. Justru jumlah anak yang putus sekolah semakin meningkat. Data Kompas 2011 menyebutkan tak kurang dari setengah juta anak SD putus sekolah sehingga angka melek huruf anak Indonesia berada pada titik yang mengkhawatirkan, 2 juta siswa setingkat SMP terancam putus sekolah dan 77% tidak mampu melanjutkan ke tingkat SMA. Mereka banyak di lingkungan sekitar kita, mungkin tetangga atau bahkan saudara kita sendiri.

Tidak berbeda dengan nasib para calon mahasiswa yang ingin mendaftar di sebuah perguruan tinggi. Praktek "jual beli" kursi sangat terasa di beberapa kampus besar. Di kampus seperti UI, ITB dan UGM, biaya setoran awal untuk mendapatkan sebuah bangku bisa mencapai ratusan juta rupiah. Tahap seleksi mahasiswa juga menjadikan besaran sumbangan orang tua sebagai tolak ukur. Semakin besar dana pembangunan yang mampu disetorkan orang tua, semakin besar pula kemungkinan mahasiswa untuk mendapat jatah bangku. Sementara seleksi melalui SNMPTN dimana para mahasiswa murni bersaing secara intelegensia, hanya memiliki proporsi kecil dalam kuota penerimaan mahasiswa baru.

Buah Liberalisasi Pendidikan

Biaya pendidikan yang melangit tidak lepas dari paradigma yang digunakan sebagai landasan pijaknya.

Sistem pendidikan dibangun di atas paradigma kapitalistik-sekuler sehingga menganggap pendidikan bukanlah hak mendasar dari setiap warganya tetapi sebagai mesin pencetak uang. 

Liberalisme pendidikan telah menyebabkan disorientasi pendidikan, dari upaya mencerdaskan seluruh rakyat menjadi pemerasan uang rakyat untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam kerangka profit. Padahal pendidikan sebagaimana sandang, pangan dan papan termasuk kebutuhan primer yang mutlak harus dipenuhi. 

Para kapital tidak pernah berhenti mengepung pendidikan Indonesia dengan arus liberalisasi. Setelah gagal meloloskan UU BHP, mereka berupaya menggolkan RUU PT yang senafas dengan undang-undang sebelumnya; mengkomersialisasi kampus layaknya badan usaha yang profit oriented, otonomisasi pengelolaan keuangan dan mengundang kapital asing untuk ikut bersaing dalam bisnis pendidikan Indonesia (pasal 114 ayat 1 RUU PT). Oleh karena itu, sudah bermunculan lembaga-lembaga jasa pendidikan asing dari Australia, AS, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Mereka telah memasuki pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, pendidikan vocational dan profesi. 

Keberadaan pendidikan tinggi asing ini ibarat oase di tengah seretnya penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) Indonesia. Mendikbud, Mohammad Nuh, seperti dilansir Okezone menyatakan akan menaikkan target PNBP dari perguruan tinggi asing (PTA) dan badan usaha perguruan tinggi (BUPT) dari 12% per tahun menjadi 30% per tahun. Oleh karena itu, pemerintah gembira masuknya PTA dan terobsesi untuk segera ketuk palu RUU PT.

Di tingkat SD dan SMP, kita sudah melihat konsep sekolah berstatus RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Tentu saja sekolah ini tidak diperuntukkan bagi siswa miskin. Sebab atas nama mutu internasional, wali murid harus menebus bangku kosong seharga Rp 30-60 juta, sedangkan biaya bulanannya mencapai Rp 1,5-2 juta. Belum ditambah pungutan ini-itu yang dilegalkan oleh negara. Sebagian dana operasionalnya ditanggung negara dalam block grant fund dengan nominal Rp 300-600 juta per tahun yang diambil dari APBN. 

Penutup 

Pendidikan adalah hak warga negara. Tetapi mengharapkan hak diberikan secara adil dari negara berkarakter kapitalistik-sekular ibarat mencabut bayangan dari dalam cermin. Pendidikan Islam memiliki pandangan yang berlawanan dengan pendidikan kapitalistik sekular. 

Namun pendidikan Islam membutuhkan konsep kenegaraan baru yang akan menjalankan fungsinya sebagai pengurus umat secara paripurna, adil dan mensejahterakan. ***

Penulis Alumni FE Unimed dan Aktivis Muslimah HTI 

0 komentar:

Posting Komentar

About ME

Foto Saya
Parepare, Sulawesi Selatan, Indonesia
Perkenalkan Nama saya Muhammad Ainun Anwar . TTL : Parepare, 7 Juni 2000. Saya Bersekolah Di SMA NEGERI 1 PAREPARE dan aktif berorganisasi yaitu Ambalan Pramuka . saya juga merupakan salah satu anggota dari PURNA BAKTI HANUN SCOUT SMP NEGERI 4 Parepare '' Saya tidak di lahirkan dengan otak yang cerdas, saya memerlukan waktu yang lebih lama untuk memahami sesuatu di bandingkan dengan otak manusia pada umum nya :( ''